1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Jawa Barat

2. Koordinator Konsultasi Hukum Bagi Rakyat Tertindas - Cabang Jawa Barat

3. Ketua Monitoring Untuk Pemerintahan Bersih (MUPB) Cabang Jawa Barat

Jumat, 17 Mei 2013

Pemerintahan Yang Bersih: Bermula dari Desa


Gending demokrasi terus berbunyi mengiringi gerak gemulai pemerintahan desa. Meskipun perarakan otoritarianisme harus diberi jalan untuk lewat terlebih dahulu dengan segala laku kasar, kaku dan kamuflase – hasil dari perkawinan antara sifat feodalisme penguasa desa dan fanatisme politik massa - tari demokrasi desa niscaya berakhir dengan pemenuhan harapan hadirnya pemerintahan yang bersih. Bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hanya orang-orang pesimis yang memandang cita-cita tentang pemerintahan desa yang bersih sebagai ilusi para pemimpi. Faktanya, pemerintahan desa yang bersih, bukan saja berhasil menduduki posisi tengah dari semua isu demokratisasi di desa, lebih dari itu, ide ini berhasil menemukan akar identitasnya. Akar identitas yang dimaksud disini adalah hakekat pemerintahan desa.

Masa Lalu : Kisah Hitam Putih
Desa, entah dari mana pun ia dipandang sejatinya adalah ciri identitas Indonesia. Kehidupan masyarakat Indonesia bermula dari perkauman keluarga, marga,clan, dan suku. Semuanya dalam bentuk kesatuan masyarakat desa.
Ide ini mungkin terkesan menyederhanakan masalah. Karena jika acuannya adalah gerak evolusi masyarakat, maka dalam peradaban manapun, perkauaman masyarakat inti seperti desa dapat dijumpai dan dirujuk. Tetapi persoalannya bukan terletak disana. Banyak desa dalam berbagai kebudayaan telah berubah menjadi kota. Beberapa negara bahkan tidak lagi memiliki desa.
Masalahnya bagi kita adalah bahwa pertautan emosi orang Indonesia dengan desa hampir-hampir bersifat attached. Bukti bahwa setiap perayaan idul fitri, pemerintah memerlukan kebijakan dan regulasi khusus dalam pengaturan jasa transportasi bagi jutaan orang yang pulang ke desa (mudik) menguatkan pendapat betapa erat tautan emosi antara masyarakat Indonesia dengan desa. Bukti lain adalah kebiasaan orang untuk menghabiskan masa tua dan pensiun di desa tempat kelahirannya.
Desa, atau lebih tepatnya bertani, adalah pilihan paling tepat ketika orang telah usai secara formal melewati waktu panjang perjalanan karier. Hutan-hutan beton nan megah berhias kilatan cahaya di langit metropolitan belum mampu mengganti rindu mereka yang memasuki purna tugas profesional akan kesunyian malam desa, sawah menguning, bulan purnama, dan suara jangkrik.
Tradisi mudik dan pensiun di desa adalah bentuk-bentuk pengalaman kolektif yang berasal dari perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Rasa, pikir dan tindak kolektif semacam ini merepresentasikan kebebasan jiwa mengorganisir pengalaman individu yang berbeda-beda. Semua itu kemudian ditransformasikan pada simbol-simbol tertentu yang mengatasi dan mewakili pengalaman individu. Carl Gustav Jung (1971) menyebut materi yang disediakan oleh ketidaksadaran untuk proses simbolisasi sebagai “arketipe”. Jadi tradisi mudik dan pensiun di desa adalah arketipe yang menunjuk pada simbolisasi tertentu. Simbolisasi yang hampir pasti adalah identitas Indonesia.
Identitas bangsa-bangsa yang kini mendiami kepulauan nusantara yang membentang dari Sabang hingga Merauke, adalah pola hidup perkauman. Saling membantu. Memecahkan masalah bersama. Sekaligus terlibat dalam masalah bersama.
Hanya saja, ketika identitas itu dihubungkan dengan ide pemerintahan yang bersih, desa adalah tabula rasa dengan goresan hitam putih sejarah pemerintahan. Ada suatu masa dimana desa otonom di Jawa adalah basis bagi semua ajaran kebaikan dan kebenaran yang mewujud dalam sĩma swatantra. Namun ada juga masa ketika desa adalah panggung bagi penindasan elit desa atas rakyatnya. Pada awal abad 19, demikian tulisan Ted Sprague (2011), desa di Jawa merupakan representasi dari gambar kelam saling hubungan antara penghianatan, penyuapan, pembunuhan masal, dan keburukan paling luar biasa. Desa menjadi sumber pemasok budak. Sekaligus tempat hidup bagi mereka dengan profesi sebagai penculik terlatih, penerjemah, dan penjual budak dalam sistem kapitalisme awal negara Hindia Belanda.
Pengalaman hitam-putih desa di masa lampau inilah yang mengharuskan kita menimbang bentuk dan isi pengaturan desa dalam kaitannya dengan ide pemerintahan yang bersih. Apabila arketipe kita terhubung dengan simbol-simbol otoritarianisme, feodalisme, dan penaklukan manusia maka sebuah sistem pemerintahan yang menjamin tetap terjaganya perilaku penyelenggara pemerintahan menjadi agenda yang urgen. Sebaliknya, apabila arketipe yang sama terhubung dengan simbol kesucian, kejujuran dan kemandirian dari sĩma swatantra maka sistem yang dibutuhkan adalah “sistem pemerintahan” (governance) dan bukan sistem pemerintah (government).
Menciptakan Sistem yang Kuat
Pemerintahan Desa menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam angka 7 dari Pasal yang sama disebutkan bahwa pemerintah desa adalah kepala desa dan perangkat desa. Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 bahwa perangkat desa terdiri atas sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan.
Memperhatikan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari (1) kepala desa, (2) BPD, (3) Sekretaris Desa, (4) anggota sekretariat desa dan (5) kepala dusun sebagai unsur kewilayahan. Pengertian “pemerintahan” disini berbeda dengan apa yang dimaksud dalam kata governance. Apabila governancemengandung arti kesatuan antara pemerintah (government), pengusaha (privat) dan masyarakat (stakeholders), maka pemerintahan dalam pengertian Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 hanya terbatas pada pemerintah (government). Meski demikian, hubungan antara pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah dalam konstruksi Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menjamin hadirnya legitimasi sebagai dasar dari governance.
Perlibatan sektor privat dan masyarakat secara umum terwadahi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, meskipun dalam proporsi yang terbatas. Beberapa tanda dari hubungan governance dalam peraturan dimaksud dapat dilacak dari (a) keterwakilan masyarakat dalam BPD sebagaimana tertuang dalam Pasal 30, (b) keterlibatan masyarakat desa dalam pemilihan kepada desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 43-46, (c) kontrol masyarakat atas peraturan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 57, (d) partisipasi perencanaan pembangunan sebagaimana tertuang dalam Pasal 63, (e) pemberian hibah dan sumbangan yang dijelaskan dalam pasal 68 ayat (1) huruf e, (f) penyertaan modal pihak ketiga dalam BUMDes seperti diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf e, (g) kerjasama desa dengan pihak ketiga seperti diatur dalam Pasal 83, dan (h) keterlibatan kelompok masyarakat dalam pembangunan desa sebagaimana tergambar dalam Pasal 90-93.
Dalam sistem hubungan yang terbatas sebagaimana disebutkan di atas, ide tentang pemerintahan yang baik diuji. Prinsip pemerintahan yang baik menurut Woods (1999:39) meliputi keterlibatan masa rakyat dalam proses demokratisasi, akuntabilitas, dan transparansi.
Demokratisasi menurut Huntington (1991) adalah proses perubahan ke arah demokrasi. Proses ini ditandai oleh keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan. Sementara akuntabilitas oleh Ndraha (2003) dimaknai sebagai dapat dipertanggungjawabkan yang dicirikan oleh efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Transparansi sendiri dimaknai Notodisoerdjo (1993) sebagai keterbukaan pemerintah terhadap semua tindakan dan kebijakan.
Pada level desa, proses demokratisasi dapat diamati dari perlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala desa, pembentukan BPD, dan perencanaan pembangunan. Sementara akuntabilitas dapat diamati dari tersedianya laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah secara periodik sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (1) huruf i dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Transparansi sendiri diatur dalam Pasal 15 peraturan dimaksud dengan penekanan pada ayat (1) huruf e, ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7).
Dengan sistem semacam ini, peluang pemerintah desa untuk bertindak di luar koridor prinsip pemerintahan yang bersih sebenarnya sudah sangat kecil. Meskipun demikian, kemungkinan grativikasi masih terbuka lebar. Jika grativikasi dimaknai sebagai pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, maka pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang besar berkaitan dengan hal ini.
Kamar Gelap Tindak Pidana Korupsi Pemerintahan Desa
Ruang gelap gratifikasi dalam tubuh pemerintahan desa tersedia oleh dua pintu masuk yang saling berhubungan. Pertama, pintu budaya. Dimana sikap ewuh pakewuh, hormat, dan nilai-nilai paternalistik budaya kita memberi jalan bagi pemberian hadiah dan kemudahan. Bukan dalam kasus pelaksanaan program pembangunan di desa saja gratifikasi dapat terjadi, dalam kasus biasa di ranah pelaksanaan fungsi kemasyarakatan seperti sedekah bumi atau pesta rakyat, orang dapat memberi kepada aparat desa dalam bentuk apa saja dan kapan saja. Para antropolog dan pejuang hak asasi manusia bahkan percaya bahwa para pejabat desa dapat menjadi subjek pemujaan dimana tubuh seorang perempuan dipersembahkan kepada mereka dalam suatu pergelaran tari ronggeng.
Kedua, pintu kemiskinan. Secara umum, perangkat desa adalah petani biasa yang secara suka rela mengerjakan pekerjaan pemerintahan. Mereka bekerja di balai desa sehari dalam seminggu, sementara sisa lima hari dihabiskan di sawah-ladang. Sama seperti rakyat desa yang miskin, aparat tidak jauh berbeda kondisinya.
Kecuali bagi mayoritas perangkat desa di Jawa yang memiliki jaminan kesejahteraan berupa bengkok. Tanah bengkok memberikan kepada perangkat dan pamong desa penghasilan periodik yang memadai. Petak sawah tanah kas desa pada beberapa daerah di Jawa dapat memberikan hasil belasan hingga puluhan juta rupiah per tahun bagi perangkat.
Ketentuan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyangkut penghasilan perangkat adalah bahwa kepala desa serta perangkat menerima penghasilan tetap dan tunjangan setiap bulan sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Meskipun batas minimal penghasilan mengacu pada upah minimum regional, tidak banyak dari pemerintah daerah kabupaten/kota yang mampu memenuhi ketentuan ini.
Dari kondisi objektif inilah, grativikasi sangat mungkin terjadi di lingkungan pemerintah desa. Budaya ewuh pakewuh mendudukan aparat pemerintah desa pada posisi tidak tersentuh, wajib dijunjung, dan patut disembah. Apa saja yang diminta aparat desa wajib hukumnya untuk dipenuhi. Sementara kemiskinan adalah alasan paling rasional dalam proyek rasionalisasi korupsi. Semboyan yang mudah dibaca adalah :”orang miskin diizinkan mencuri”.
Beruntung bahwa perarakan otoritarianisme dapat dibatasi dalam pengaturan tentang desa. Terhadap pelanggaran tindak pidana korupsi, pemerintah desa telah memiliki filter yang cukup kokoh. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menegaskan bahwa dalam hal disangkakan melakukan tindak KKN, kepala desa diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Bupati/Walikota tanpa melalui usulan BPD. Apabila mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 memberi tiket terusan pemberhentian kepada semua aparat pemerintah desa yang diputuskan oleh pengadilan sebagai pelaku KKN dengan putusan yang bersifat tetap dan final.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar