“Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada
habisnya, baik ditingkat pusat sampai daerah ; merupakan bukti nyata
betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan kita. Namun apakah
korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka?. Kita akan
tahu dengan belajar dari sejarah”.
Ungkapan tersebut di atas terasa sangat keliru meski
ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta
merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di
Indonesia. Moralitas seseorang sangat
ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya
moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar
dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.
Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh
kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah
secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of
power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat
pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek
kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah
melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri.
Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang
pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan
penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa
Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang
dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan
acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja
diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan
dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang
berani menyuaraknnya.
Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan
Korupsi merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur
sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah
moral semata, seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang
meyakininya. Sekalipun tentu saja masalah moral memiliki peran penting
dalam menyuburkan praktek korupsi di Negara kita, akan tetapi peran
tersebut tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang
memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi ini. Belakangan ini,
begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik
pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang
seruan serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak
dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi
di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran,
Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yang intinya adalah
menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka
perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok
merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Upaya tersebut bukan
salah, namun keliru memandang persoalan secara objektif dan
komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah, “jangan
sampai upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan
masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan
sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat
korup, sehingga dengan demikian, masyarakat kian lupa dengan faktor
utama yang mendorong lahirnya praktek korupsi tersebut, yakni ; Bangunan
kekuasan yang otoriter, menindas dan terpusat kepada segelintir orang
saja”. Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu varian
penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar
persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial
dari sekedar alasan moralitas.
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi
adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang
memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika
kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi
ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek
kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana
pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas
nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai
anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis
gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang
terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi
dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah
yang menjadi factor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya
tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa
kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat
umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh
Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis
terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan social yang terbentuk dari
bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar
kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga
tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala
dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang
diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang.
Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan
otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas
masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani
bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang
terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat
cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang
berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan
biaya yag tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran,
“Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan
dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan
bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan
ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.
Warisan Masa Lalu
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang
telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat
publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah
dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang
jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya.
Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan
berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh
pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang
begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk
menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam
kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan
berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai
asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada
sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system
pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan,
pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri
dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan
dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang
melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan
hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah
satu-persatu pada setiap fase tersebut. Pertama, Fase Zaman
Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi
oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur
sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan
kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll,
mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan
motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah
menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja
kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar
saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut
kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu
Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di
Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik
yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara
yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha
Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan
antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten
yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah
Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase
zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa
Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam
kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam
sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik
simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya
kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang
korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek
korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya
sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para
penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya
korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja
dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah
adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat
kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene
merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan
mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat,
digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap
hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal
Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk
menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para
cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan
“Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri,
telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan
kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda
ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari
perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak
dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit,
sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi
ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya
sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti
drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi
bertahan hidup (Survival).
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi
di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya
bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang
ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu
saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat
pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang
akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru
Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung
otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi
praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup,
bahkan hingga saat ini.
Korupsi ; Kekerasan Struktural Terhadap Rakyat
Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang
dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat.
Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit
anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan
sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya
inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung
tinggi. Eknomi biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan
antara daya beli masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama
komoditas bahan pokok. Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima
keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini, adalah akibat dari
ulah para pejabat yang mengkorupsi uang Negara demi kepentingan
pribadi, kelompok dan golongan masing-masing. Intinya, masyarakat
dipakda untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya. Kita tentu masih
ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998
lalu!!!. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia
ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah
pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi
yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap
kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas
kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi
kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan
rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri.
Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui
pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya
aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita. Negara dituding telah
dengan sengaja menciptakan ketimpangan sosial dalam kehidupan
masyarakat. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan
pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran social yang
semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan,
listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang
menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin
sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang
korup?. Salah satu fakta penitng yang bisa kita saksikan adalah
bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasi
hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu.
Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah
mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar
utang-utang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta
lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi
pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai
konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat
indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang tersebut.
Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi social bagi
masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan
masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang
dikorbankan”!!!. Dari pemaparan tersebut, maka sangatlah wajar jika
dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan
kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan
oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri.
Mengembalikan Kepercayaan Masyarakat
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan
pejabat-pejabat Negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya
terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat (expectation)
terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan senderung
apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi,
jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi
yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban.
Berbelit-belit dan sangat birokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang
dilakukan, menjadi salah satu factor mendasar penyelesaiaan sebuah
kasus. Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota DPRD)
yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau
pejabat pemerintahan daerah yang harus menunggu persetujuan presiden,
dll, menjadi salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah
carikan solusi yang tepat. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk
membuat kebijakan (policy) yang bertujuan untuk mempelancar proses
pemberantasan korupsi sehingga daapt berjalan cepat, efisien dan efektif
tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan yang telampau birokratis.
Sejak periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla,
program pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam program
kerja pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi dengan memberikan
bentuk penghargaan yang tinggi atas upaya yang dilakukan tersebut. Namun
patut kita catat bahwa, meskipun pemerintahan SBY-JK telah berhasil
mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara
(semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, serta
kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di beberapa daerah),
namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para
koruptor-koruptor kakap (dari era Soeharto sampai sekarang) yang hingga
saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh
hukum. Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari komitmen
pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali pulih,
bahkan lebih partisipatif dalam setiap masalah-masalah yang sedang
dihadapi oleh bangsa dan Negara. Namun sebaliknya, jika pemerintah
lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk
menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin
jauh meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemrintahan tanpa dukungan dari
masyarakatnya?
Upaya Hukum Pemberantasan Korupsi ; Antara Mitos dan Realitas
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini
bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan
penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya
sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral
seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar
peneybabnya melalui ; Pertama, Negara melalui pemerintah harus
melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama
dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin
maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara
seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan
kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya
diri, akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita.
Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum
saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi
dan politik.
Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti
yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa prilaku korup
juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan
berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin
korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem
pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta
meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil
(civil society).
Ketiga, Membangun akses control dan pengawasan masyarakat
terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan
dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan
penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung
berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin
pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik
yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk
mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam
konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan Negara
yang egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan,
sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang
sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan control yang
tajam terhadap penyelewengan.
Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak
hukum. Kejujuran penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara
kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan
secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih
berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta
memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat
diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri
ayam yang relative tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut
keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan
penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini
memungkinkan untuk menamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung
jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para
(dosen, guru, dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak jarang
dari para pengajar tersebut memberikan contoh yang buruk kepada anak
didiknya yang bisa jadi kelak akan diadopsinya dalam kehidupan
sehari-hari. Semisal jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul pelajaran,
pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung
menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampu kita
praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup
masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru
akan semakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.
Sumber : http://belanegarari.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar