Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan
dasar. Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan
pengertian diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.
Pengertian yang luas tersebut memperlihatkan bahwa spektrum
diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang
kehidupan secara langsung maupun tidak langsung. Diksriminasi tersebut
dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan
Pemerintah yang mengandung unsur-unsur diskriminasi. Atau dapat pula
berakar pada nilai-nilai budaya, penafsiran agama, serta struktur sosial
dan ekonomi yang membenarkan terjadinya diskriminasi.
Dalam rangka menegakkan norma HAM di Indonesia, Pemerintah telah
meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 serta
Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial 1965 (Convention on The Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965) melalui UU Nomor 29 Tahun 1999.
Berdasarkan konvensi-konvensi tersebut Pemerintah harus mengambil
beberapa langkah dan tindakan yang mendukung tegaknya norma HAM
tersebut. Pemerintah wajib melaksanakan kebijakan anti diskriminasi,
baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dalam prakteknya,
dengan melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan menjamin
setiap orang tanpa membedakan agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, atau
keyakinan politik, dan kesederajatan di muka hukum, terutama kesempatan
untuk menggunakan hak-haknya. Pihak Pemerintah pun wajib menjadikan
segala bentuk penghasutan, kekerasan, provokasi, pengorganisasian, dan
penyebarluasan yang didasarkan pada diskriminasi sebagai tindak pidana.
Kemudian pihak Pemerintah pun harus menjamin adanya perlindungan dan
perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah
yurisdiksinya atas segala tindakan diskriminasi, serta hak atas ganti
rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang
diderita akibat perlakuan diskriminasi. Untuk itu Pemerintah harus
mengambil langkah-langkah yang segera dan efektif, khususnya di bidang
pengajaran, pendidikan, kebudayaan, dan penyebarluasan nilai-nilai anti
diskriminasi dengan tujuan untuk memerangi berbagai prasangka yang
mengarah pada praktek-praktek diskriminasi.
Sejak dimulainya reformasi 1998, harus diakui telah terdapat beberapa
kebijakan yang secara siginifikan melarang dan menghapuskan
diksriminasi. Misalnya, Inpres Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan
Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam Semua Perumusan dan
Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan
Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Inpres ini keluar sebagai respon
atas kerusuhan terutama yang terjadi di Jakarta, Surakarta, dan Medan,
yang secara eksplisit bersumber pada berbagai bentuk diskriminasi rasial
terhadap golongan Tiong Hwa. Juga dicabutnya Inpres No.14/1967 tentang
pelarangan adat istiadat dan kebudayaan Cina di ruang publik dengan
Keppres No. 6/2000.
Berikut ini beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif:
- Keputusan Presidium No.127/Kep/12/1966 tentang prosedur penggantian nama keluaraga Cina yang asli ke nama Indonesia
- Inpres No. 14/1967 tentang pelarangan adat cina di ruang publik (telah dicabut dengan Keppres No. 6/2000 di masa Presiden Gud Dur).
- Keppres No. 240/1967 tentang Warga Negara Indonesia Keturunan Tiong Hwa.
- TAP MPRS No. 32/1966 tentang pelarangan penggunaan bahasa dan aksara mandarin dalam media massa dan dalam nama toko atau perusahaan.
- Presiden Habibie telah membuat Inpres No.26/1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi-non pribumi serta meniadakan pembedaan dalam segala bentuk.
- Keputusan BAKIN No.Kpts-031 sampai 032 tahun 1973 tentang pembentukan struktur dan kewenangan Badan Koordinasi Masalah Cina.
- Memo BKMC-BAKINNo.M.039/XI/1973 yang menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama.
- Surat Menag No.MA/608/80 yang menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama
- Surat Menkokesra No. 764/X/1983 menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama
- Surat Mendagri No.477/2535/PUOD/90 menyatakan bahwa Konghuchu bukan agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar