1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Jawa Barat

2. Koordinator Konsultasi Hukum Bagi Rakyat Tertindas - Cabang Jawa Barat

3. Ketua Monitoring Untuk Pemerintahan Bersih (MUPB) Cabang Jawa Barat

Selasa, 28 Mei 2013

Kajian Hukum dan Perundang-undangan tentang Diskriminasi

Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar. Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.
Pengertian yang luas tersebut memperlihatkan bahwa spektrum diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan secara langsung maupun tidak langsung. Diksriminasi tersebut dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah yang mengandung unsur-unsur diskriminasi. Atau dapat pula berakar pada nilai-nilai budaya, penafsiran agama, serta struktur sosial dan ekonomi yang membenarkan terjadinya diskriminasi.

Sabtu, 25 Mei 2013

Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia

“Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, baik ditingkat pusat sampai daerah ; merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan kita. Namun apakah korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka?. Kita akan tahu dengan belajar dari sejarah”.

Ungkapan tersebut di atas terasa sangat keliru meski ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri.

Rabu, 22 Mei 2013

Etika dan Moral Politik vs Penegakan Hukum

Dalam praktiknya antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim yang sedang berkuasa disetiap negara punya “politik hukum” sendiri dalam melaksana konsep tujuan pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan yang diikuti adanya pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti, dan setiap kebijakan politik harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam memperjuangkan politik hukum tersebut harus dijalankan dengan mengindahkan etika dan moral politik.

Sabtu, 18 Mei 2013

Perilaku Korupsi dalam Masyarakat

Sepertinya semua orang pernah berbohong dan sebagian besar orang pernah melakukan korupsi kecil-kecilan. Menggunakan sarana kantor untuk keperluan sendiri, bolos kerja, membeli buku untuk pribadi dengan uang lembaga, itu sebenarnya korupsi juga. Namun, korupsi berkelompok, besar-besaran, sangat terorganisasi, direkayasa dan ditutupi bersama—sesuatu yang beberapa waktu terakhir terus diberitakan media—merupakan sesuatu yang sangat sulit dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat awam. Bias persepsi
Dalam psikologi manusia, ada beberapa proses yang cenderung membuat kita mengambil penyimpulan yang ”bias”. Ini akan sekaligus menghalangi kita untuk memperoleh pengetahuan yang ”sebenar-benarnya” dan lebih lanjut lagi menghalangi kita melakukan langkah yang setepat-tepatnya demi mencegah atau menanggulangi hal buruk.
Sesungguhnya ini adalah proses yang alamiah saja sebagai suatu cara untuk mempermudah manusia memahami dunia dan menciptakan harmoni dengan dunia sosialnya. Namun, bila dibiarkan begitu saja, jelas akan sangat menyulitkan pemberantasan korupsi.

Jumat, 17 Mei 2013

Keberpihakan pada Kaum Tertindas


Kasus korupsi hingga saat ini masih menjadi kajian yang menarik. Masalahnya, para koruptor mayoritas menggunakan otoritas kekuasaan sebagai peluang untuk "mencuri" harta rakyat. Padahal, mereka telah dipilih untuk menduduki sebuah kursi jabatan atas nama rakyat dan dengan suara rakyat, melalui proses 
Demokrasi sebenarnya bukanlah suatu konsep politik modern tentang pengaturan negara, tata kehidupan masyarakat, dan hak-hak masyarakat bernegara. Demokrasi telah menjadi "darah daging" bangsa Yunani, puluhan tahun bahkan ratusan tahun sebelum Masehi. Walaupun demokrasi merupakan konsep kuno, tetaplah menarik untuk ditelaah dan dikritisi. Terkait dengan nilai-nilai di dalamnya, demokrasi menjadi perhatian akademisi dan praktisi politik.
Salah satu negara yang menggunakan sistem demokrasi saat ini, khususnya dalam sistem perpolitikan, adalah Indonesia. Itu dimulai tahun 1998 sejak runtuhnya rezim Soeharto pada era Orde Baru. Sejak itulah Indonesia mulai mengalami perubahan drastis dari sistem kekuasaan yang otoriter menjadi demokrasi.

Pemerintahan Yang Bersih: Bermula dari Desa


Gending demokrasi terus berbunyi mengiringi gerak gemulai pemerintahan desa. Meskipun perarakan otoritarianisme harus diberi jalan untuk lewat terlebih dahulu dengan segala laku kasar, kaku dan kamuflase – hasil dari perkawinan antara sifat feodalisme penguasa desa dan fanatisme politik massa - tari demokrasi desa niscaya berakhir dengan pemenuhan harapan hadirnya pemerintahan yang bersih. Bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hanya orang-orang pesimis yang memandang cita-cita tentang pemerintahan desa yang bersih sebagai ilusi para pemimpi. Faktanya, pemerintahan desa yang bersih, bukan saja berhasil menduduki posisi tengah dari semua isu demokratisasi di desa, lebih dari itu, ide ini berhasil menemukan akar identitasnya. Akar identitas yang dimaksud disini adalah hakekat pemerintahan desa.

KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA



Korupsi terjadi di seluruh negara, tetapi fenomena yang terjadi di negara berkembang pada umumnya dan khususnya di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik. Meluasnya praktek korupsi adalah suatu gejala bahwa kontrol negara dan masyarakat kurang berfungsi serta pada level pelenggaraan negara tidak bekerja secara efisien sehingga mengakibatkan kesalahan kebijakan dan berdampak penderitaan rakyat. Untuk itu, permasaalahan Korupsi dan pemberantasannya harus dilakukan/ditangani secara serius. Pertanyaannya adalah apakah korupsi itu? Dan Bagaimana memberantas korupsi di Indonesia?  
Secara etimologi, perkataan korupsi berasal dari kata “Corruptio/Corruptus” yang dalam bahasa Latin berarti kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo, 184 : 16). Dalam perkembangannya, Sudarto (1986 : 114-115) berpendapat bahwa istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.

FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA

Korupsi di Indonesia, sudah merupakan “biang kemudaratan ”, yang bisa meluluhlantakkan hampir semua bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, hukum (peradilan), sosial, budaya, kesehatan, pertanian, dan hankam, bahkan kehidupan ber”agama” yang selama ini dianggap sebuah zona yang sakral dan sarat dengan nuansa moral, ternyata bersarang pula perilaku amoral bagi pengurus dan pemeluknya. Dampaknya, sangat besar dan meluas, mulai dari kerugian negara sampai pada fenomena meluasnya kemiskinan secara struktural. Akibatnya, korupsi melahirkan berbagai tragedi alami, kemasyarakatan dan juga kemanusiaan. Berbagai upaya semula diramalkan bisa mencegah-tangkal dan pada akhirnya diharapkan mampu memberantas tuntas akar korupsi, baik yang dilakukan melalui penciptaan piranti hukum maupun aplikasi hukum in concreto , ternyata hasilnya terjadi aplikasi hukum “tebang pilih” (discriminative justice ). De Facto , terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra produktivitas.